25 Oktober 2008

ASAL USUL NAMA GEYONGN

Nama tempat pada umumnya diambil dari suatu peristiwa / kejadian atau nama orang yang fenomenal yang terjadi di tempat itu dan oleh orang kejadian itu biasanya dijadikan nama tempat untuk mengenang peristiwa atau nama seseorang tersebut.

Cerita sejarah ini berawal dari seorang sarjana Panama yang sedang melakukan penelitian tentang kebudayaan Cirebon dan lagi berkunjung ke Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati untuk pengumpulan data dan informasi sebagai bahan penulisan Tesisnya. Komplek pemakamam Sunan Gunung Jati adalah tempat makam dimana Sunan Gunung Jati dan Keturunannya (Sultan-Sultan Cirebon) dan para pembantunnya/Ki Gede disemayamkan.

Setelah sekian lama dia berkeliling di komplek pemakaman tersebut dia tertarik pada salah satu makam yang baginya agak ganjil dimana pada batu nisan makam tersebut tidak diberi nama indentitas dibandingkan dengan yang makam lainnya, maka bertanyalah si sarjana tersebut kepada pemandu atau yang biasa disebut Jeneng " Ini makamnya Siapa ? " Si pemandu tidak bisa menjawab padahal dia mengetahui jawabannya, kemudia jeneng menyarankan agar bertanya saja pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Cirebon. Pada keesokan harinya sarjana tersebut bertandang ke Kantor Dinas P dan K kota Cirebon menanyakan perihal makam yang tidak punya nama itu di Komplek pemakaman Sunan Gunung Jati, di Kantor Dinas P dan K ia juga tidak mendapatkan jawaban yang jelas dan memuaskan kemudian Dinas P dan K Kota Cirebon menyarankan agar bertanya pada para orang tua Desa Geyongan. Maka berangkatlah Ia ke Desa Geyongan dan bertemu dengan Bapak H. Markina dan inilah ceritanya selengkapnya.

Sahdan yang punya cerita disuatu malam didalam salah satu keraton Kesultanan Cirebon sedang mengadakan acara kesenian Tayuban atau sejenisnya yang dihadiri Sultan dan para pembantunya serta tidak ketinggalan para penari tayub (ronggeng), konon penari tayub itu diambil dari beberapa desa/pedukuhan terpilih tentu dengan persyaratan sangat ketat sudah barang tentu harus cantik, bahenol, pinter menari dan menyanyi pelog. Sudah merupakan tradisi kraton jaman dulu, keraton selalu mengadakan acara kesenian tayuban untuk menyenangkan hati Sultan dan pembesar keraton, sampai sekarang para penabuh gamelan hingga keturunannya selalu setia terhadap Sultan Cirebon.

Pada malam itu Sultan kelihat muram dan tidak semangat untuk melihat dan menari entah apa yang beliau pikirkan, maka bertanyalah si Sultan pada Tumenggung kepercayaannya " Ehh .. tumenggung kenapa si Anu itu tidak datang ? Tumenggung terdiam tidak bisa menjawab . Sudah sebulan dia tidak lagi menemaniku untuk menayub sergahnya . Matur tulung Sinuhun , saya juga tidak mengetahui kedaannya, jawabnya jawab Tumenggung", yah sudah kalau begitu saya utus kamu untuk mencari tahu tentang keberadaan si Anu, kata Sultan. Si anu itu adalah seorang penari tayub konon merupakan kesayangan Sultan, yang mempunyai paras cantik berasal dari pedukuhan anu (red : sekarang Desa Geyongan), waktu itu pedukuhan geyongan sudah ramai dan banyak penduduknya (link : cerita Sejarah Desa Geyongan). Keberadaan si Anu dan identitasnya hingga saat ini masih sangat misteri belum ada yang mengetahuinya, siapa gerangan ?

Singkat cerita Tumenggu itu berangkat ke Desa Geyongan untuk mencari tahu keadaan si penari tayub itu dengan berkendaraan kuda melewati jalan yang ada sekarang (dremaga lor). Setelah sampai di pedukuhan Geyongan si Tumenggung tadi tidak langsung menuju ke tempat si Nyai penari tapi mampir dulu beristirahat untuk melepaskan lelah setelah menempuh perjalan jauh dari Cirebon ke Geyongan di sebuah belik untuk memberi minum kuda sekalian minum atau sekedar cuci muka dan kaki. Belik itu adalah sumber mata air (tuk : bhs Cirebon) yang oleh orang dibuat kolam atau sumur dan dipergunakan orang untuk keperluan mandi dan sumber air minum biasanya letaknya ditepi jalan (toang) atau sawah. Keberadaan belik saat ini masih baik dan masih dipergunakan oleh masyarakat untuk mandi dan air minum, terletak di blok Kidas Desa Kebonturi yang merupakan peninggalan pedukuhan Kidas dan tidak jauh dari Simpang Tiga Jenun - Geyongan Kec. Arjawinangun.

Kebetulan waktu itu masih agak siang, jadi tidak ada salahnya untuk beristirahat (Ngaso bhs jawanya) pikir tumenggung. Sebelum ngaso si Tumenggung memotong bambu, waktu itu disekitar belik masih banyak bambu untuk dibuat semacam ayunan. Tanpa disadari setelah sekian lama berayunan terasa kantuk menghinggapi si Tumenggung. Gelise wong crita bobade wong kanda “ maka tertidurlah si Tumenggung tadi diatas ayunan sampai sore hari ", yah pantes saja dia tertidur selain kondisi dia lagi cape keadaan di belik juga mendukung sudah udaranya segar juga hembusan anginnya yang semliwir (sepoi-sepoi) siapapun orangnya pasti akan ngatuk dan tertidur. Menjelang waktu asyar " gragap " terbangunlah ia dan dengan tergopoh-gopoh menaiki kuda menuju ke rumah si Nyai penari di pedukuhan geyongan.

Singkat kata sampailah ia di rumah si Nyai penari, kedatangannya disambut dengan sopan dan senyuman manis sebagimana gadis desa yang lugu menyambut para pembesar dari keraton, langsung dia dihidangi air putih dan rebusan Boled (Ubi jalar) dan Campu (Umbi Batang/Singkong). Mangga gusti kula suwunakan mlebet teng gubuk kula ( silahlakan gusti untuk masuk ke rumah saya) kata si penari, tumben gusti mboten pranti-pranti nyambangi griya kula apa wenten wigatos sing sanget, timpal si Nyai penari. Begini Nyai sergah si Tumenggung, saya diutus oleh Kanjeng Gusti Sinuhun Sultan untuk mencari tahu keadaan Nyai, karena sudah sebulan Nyai tidak sambang ke Keraton untuk penari. Memang ada apa Nyai ? tanya si Tumenggung. Si Nyai cuma hanya bisa diam tidak bisa menjawab sekatapun, wajahnya tertunduk malu raut muka penuh rasa takut dan khawatir maklumlah gadis desa berbicara dengan penggede keraton. Lama sudah Tumenggung menanti jawaban si Nyai tapi Nyai tetap tidak bisa bicara sekatapun, maka bertanyalah lagi “ Ada apa Nyai ? bicarah Nyai sejujurnya “. Si Nyai tetap juga tidak bisa menjawab cuma bisa menjawab dengan bahasa isyarat yaitu dengan mengelus-elus perutnya yang sedang membesar itu. Sasmitane Tumenggung mengertilah apa yang diisyaratkan oleh Nyai , baiklah Nyai sekarang aku baru mengerti jawabanmu. Setelah sekian lama berada di rumah Nyai Penari berbicara ngalor-ngidul, menjelang sore wayah surup pulanglah Tumenggung tadi ke Cirebon dengan berpesan pada Nyai agar selalu menjaga kesehatan dan menjaga kandungannya.

Singkat cerita sampailah si Tumenggung di keraton Cirebon dan langsung melapor hasil perjalanannya mengunjungi si Nyai Penari itu, dengan tergopoh-gopoh laporlah ia ke Sultan . Sebelum sempat bicara melaporkan diri , Jumeneng Sultan langsung bertanya , “ Tumenggung kenapa kamu lama sekali baru menghadap saya, apa pedukuhan itu jauh sekali ? “ sergah Kanjeng Sultan “ . Matur Kanjeng Sultan kalau jauh sih tidak yah kurang lebih 2 jam perjalanan naik kuda letaknya sebelah utara dari tempatnya Ki Gede Palimanan, tempat itu belum ada namanya Kanjeng Sultan “ jawab Tumenggung. Iya… menurut hitungan saya kamu lama sekali datang melapor , sampai malam begini, kemana saja kamu ? Nganclong kemana ….. “ hardik Kanjeng Sultan. Aduh Kanjeng Sultan, pangapunten sing agunge pangapura kula, sebenernya saya tidak nganclong kemana-mana saya tadi tertidur sewaktu istirahat di Belikan hingga sore hari baru saya terbangun. Loh.. koh bisa tertidur memangnya kenapa ? Maaf Kanjeng Sultan, waktu di tempat itu saya membikin Ayunan dari bambu untuk duduk sambil istirahat tak terasa saya teridur, timpal Tumenggung. Ohh…. begitu ceritanya, baiklah kalau begitu karena pedukuhan itu belum punya nama maka tempat itu saya namakan Geyongan, sejak saat itulah pedukuhan itu dinamakan Geyongan hingga saat ini. Kata Geyongan sendiri diambil dari kata Ayunan padanan kata Geyongan. Adapun makna kata Geyongan adalah suatu alat yang terbikin dari kain atau bahan lainnya yang diikat dengan tali dan digantung biasanya digukanan untuk menidurkan bayi/anak, alat itu sudah sangat lajim digunakan masyarakat Cirebon.

Melanjutkan cerita tadi… terus bagaimana keadaan Nyai, Tumenggung ? tanya Kanjeng Sultan lagi. Begini Kanjeng Sultan, sebelumnya saya minta maaf barangkali laporan saya ini lancang dan pamali . Sebenarnya Nyai tidak sakit atau tidak kurang apapun semuanya sehat, Kanjeng .. , ayo teruskan laporanmu sergah Kanjeng Sultan penasaran. Ternyata setelah saya tanya dan lihat, Nyai saat ini sedang mengandung/hamil. Terkejutlah wajah Sri Sultan mendengar laporan itu, baiklah kalau begitu saya mengerti apa yang harus saya lakukan, Tumenggung untuk itu saya tugaskan kembali kepadamu untuk selalu mengawasi dan menjaga keadaan Nyai penuhi kebutuhan hidupnya jaga kesehatannya dan jaga keamanannya, perintah Kanjeng Sultan. Sumangga derek dawuh Kanjeng, timpal Tumenggung. Sejak saat itulah Nyai penari menjadi tanggungjawab dan pengawasan Tumenggung sampai melahirkan.

Delapan bulan kemudian si Nyai melahirkan jabang bayi perempuan di pedukuhan Geyongan, karena kehendak Allah. SWT bayi tersebut tidak panjang umur meninggal dunia sewaktu masih bayi dan dikubur/disemayamkan di pekuburan Desa Geyongan serta petilasannya juga dibuat di komplek pemakaman Sunan Gunung Jati. Karena beliau masih keturunan Sultan Cirebon oleh Sultan diberi gelar Nyi Ratu, sehubungan dia meninggal dan disemayamkan di Geyongan orang menyebutnya atau dijuluki Nyi Ratu Geyongan dan dihormati sebagai Ki Buyutan karena diduga mempunyai kharomah dan keramat. Saat ini makam Nyi Ratu Geyongan pada malam-malam tertentu terutama pada sore dan malam Jum’at banyak dijiarahi orang, sekedar untuk berdoa dan haulan bahkan dijadikan tempat menyepi/sunyaragi untuk mendapatkan kharomah dari-Nya.

Demikian cerita asal usul nama Geyongan, kepada semua pihak terlepas dari tidak atau validnya cerita ini saya mohon maaf. Tujuan saya menulis ini hanya sekedar menyambung lidah lewat tulisan dari cerita yang beredar di masyarakat, saya menyadari kelemahan bangsa ini bahwa kebanyakan suatu kejadian atau peristiwa tidak terdokumentasikan dengan baik.

7 komentar:

ALUMNI IPA1 1982 SMAN PALIMANAN mengatakan...

Sedulur kabeh ....
Pada Masyarakat Desa Geyongan cerita sejarah ini ada beberapa versi cerita satu sama lain berbeda entah mana yang benar. Terlepas salah atau tidaknya cerita ini kita patut mensyukuri ada orang yang mau menyampaikannya walaupun dari mulut ke mulut, itulah budaya bangsa kita dalam perjalannya tidak mendokumentasikanya dengan baik.
Harapanku tulisan ini jangan dijadikan polemik yang berkepanjangan, dalam era reformasi dan globalisasi ini siapapun orangnya berhak untuk menyampaikan pendapat.

Wasalan

diens_crb mengatakan...

Kata & kalimat yang mengarah pada unsur etnik pemahamannya masih kurang sepenuhnya diartikan
(hanya sebagian saja yang diartikan dengan bahasa nasional)

"tumben gusti mboten pranti-pranti nyambangi griya kula apa wenten wigatos sing sanget"

alangkah lebih baik kalau Cerita, Sejarah dan yang mencakup hal seperti itu dapat dimengerti oleh semua kalangan, yang pada umumnya msh belum memahami bahasa Cirebon.

Ceritanya menarik, penuh wawasan dan dapat dipertanggungjawabkan.....
tapi kapan nih ulasan selanjutnya dapat segera dinikmati untuk pembaca

ditunggu yah.......kelanjutannya.
Trims

ALUMNI IPA1 1982 SMAN PALIMANAN mengatakan...

Feed back visitor diens_crb,

Didalam tulisan sejarah tadi memang ada beberapa kalimat atau kata yang bernuansa etnik (Bhs Jawa Cirebon)yang tidak diartikan/translate kedalam Bhs. Nasional (Bhs. Ind), bukannya penulis lupa atau tidak paham tapi sengaja disisipkan untuk menunjukkan ciri kekhasannya bahasa Jawa Cirebon karena lokasi kejadiannya ada di daerah Cirebon.
Disamping itu penulisan sejarah yang kami buat adalah berupa cerita, jadi dalam penulisannyapun tidak formal banget, sengaja kami buat bersahaja dengan gaya bahasa yang lugu dan agak kocak sedikit serta bernuansa etnik supaya pembaca mesam-mesem dibuatnya.

Demikian ... matur kesuwun.

Anonim mengatakan...

yup...aku sudah membaca tulisan di Blog Mas Iri....aku sebagai salah satu putra Desa Geyongan salut atas kepedulian atas lounchingnya desa geyongan ke dalam dunia cyber space. coz...ini juga merupakan terobosan putra-putri desa geyongan lainnya terutama yang sedang dalam perantauan untuk bisa saling sharing pendapat, gagasan, pengalaman, dan komunikasi pro-aktif demi pembangunan desa geyongan yang kita cintai. Tapi jujur ajah aku sendiri hampa dengan pembangunan desa geyongan, coz masyarakata desa geyongan saat ini masih menganut faham "ketokohan", dimana seseorang yang dianggap memiliki pamor dan pengaruh dianggapnya segala-galanya. sungguh fenomena yang memilukan dan memprihatinkan. Hari gini.....koq masih ada saja orang-orang yang suka diperlakukan seperti zaman-zaman kolonial....KACIAN DECH LO......

aby12114 mengatakan...

pa umae ng endi kita wong geyongan...

Unknown mengatakan...

Terimakasih atas perhatiannya tentang cerita babad desa geyongan.

didisme mengatakan...

Terima kasih telah mendokumentasikan cerita lisan nenek moyang.. Semoga generasi kami lebih menghargai sejarah.. Salam kenal, blok Kidas, alumni Nepal 2006