25 November 2008

BABAD TANAH CERBON

Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.

Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.

Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.

Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.

Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.

Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.

Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)

Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.

Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.

Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.

08 November 2008

RITUAL ADAT DESA GEYONGAN

1. Lamaran Penganten

Adat lamaran pernikahan masyarakat Desa Geyongan atau biasa disebut penetepan dilakukan jauh hari sebelum acara pernikahan dilaksanakan. Setelah hari penetepan ditentukan keluarga dari kedua belah pihak berkumpul di kediaman masing-masing, dari pihak calon pengantin pria biasanya akan mewakilkan dari salah satu kerabat dekatnya untuk menjadi utusan yang akan menenamu ke pihak keluarga calon pengantin wanita.

Sudah menjadi kearipan lokal yang menjadi utusan itu dari kerabat dekat bukan langsung orang oleh tuanya , tujuannya untuk menghindari kles secara langsung apabila terjadi kesalahpahaman yang nota bene dikemudian hari akan menjadi besannya. Demikian pula dari pihak calon pengantin wanita juga diwakilkan dari keluarga dekatnya.

Setelah utusan dari pihak pria itu datang di kediaman pihak wanita layaknya tamu pada umumnya disambut dengan gembira dan ramah tentunya juga disajikan hidangan istimewa maklum tamunya juga istimewa membawa amanat yang harus disampaikan. Setelah bicara pembukaan si utusan tadi menyampaikan maksud dan tujuannya datang dengan menggunakan bahasa krama inggil (Bhs Jawa Cirebon : Bebasan) kalau belum paham bener menggunakan bahasa ngoko (Jawa Kasar) atau Bahasan Indonesia. Diutarakanlah masud dan tujuannya datang kesini untuk melamar si Anu putri bapak Fulan untuk anak kami si Bujang. Jawaban dari pihak wanita tidak begitu saja menerima pinangan dari pihak pria, biasanya terlebih dahulu menanyakan kesanggupan putrinya menerima atau tidak lamaran atau pinangan tadi. Kebanyakan si calon putri tadi jawabannya malu-malu kucing sambil mesam-mesem manis, lama kelamaan karena diguyoni kanan kiri akhirnya menganggukkan kepala dengan ucapan mesra “ ya “ pertanda dia mau atau setuju.

Proses selanjutnya dari pihak pria akan memberi penyingset berupa cincin kawin dari emas dan sejumlah uang sebagai penetep pada si calon pengantin wanita, cincin tersebut pada umumnya langsung dimasukan ke jari manis tangan kiri calon wanita oleh calaon pria atau oleh orang tua wanita. Kemudian dari kedua belah pihak memusyawarahkan hari dan tanggal acara pernikahan, kadang kala pihak wanita meminta waktu yang agak longgar guna merencakan dan menyiapkan acara pernikahan tersebut.

Adat acara pernikahan di desa Geyongan pada umumnya dipangku atau dilaksanakan di pihak keluarga wanita sebagai pemangku hajat dengan biaya ditanggung bersama bahkan sepenuhnya ditanggung pihak wanita. Pada acara tersebut ada kalanya dimeriahkan dengan acara hiburan sehari penuh bagi yang mampu mengundang group kesenian lokal, seperti : orkes, organ tunggal, topeng, genjring, tarling, sandiwara dan wayang kulit. Bagi yang kurang mampu biasanya cukup dengan acara pengajian dan ceramah agama bahkan dokmong atau tape saja

2. Pernikahan

Adat dan tata cara pernikahan di desa Geyongan mengunakan syariat Agama Islam dimana calon pengantin pria mengucapkan ijab kabul dan meberikan mahar berupa uang, perhisan atau berupa barang lainnya dan dilakukan dihadapan penghulu bahkan oleh orang tua si pengantin wanita kebanyakan diwalikan ke Penghulu atau yang biasa disebut Naib dan disaksikan oleh kelaurga dekat , tetangga dan masyarakat sekitar dan dilaksanakan di kediaman orang tua pengantin wanita.

Persiapan menjelang acara pernikahan kedua belah pihak baik di pihak calon pengantin pria dan wanita sama-sama sibuknya menyiapkan segalanya agar berjalan lancar. Dari pihak pria menyiapkan barang bawaan yang akan mengiringi calon pengantin pria menuju ke calon pengantin wanita, barang bawaan yang dibawa beraneka macama mulai dari pakaian wanita sepengadeg, makeup seperangkat, sayur mayur, kayu bakar, kelapa, pisang, beras, ayam, kambing macem-macem deh bahkan jaman dulu katanya ranjang dan kasur pengantenpun dibawa.

Acara pengiringan penganten pria adatnya dilakukan pada sore hari tapi sekarang ada juga yang pagi hari tergantung sikon, dengan diiringi kebarabat dekat, teman-tema dan tetangganya. Keberangkatan iring-iringan penganten pria diawali dengan sungkeman kepada ibu bapak kemudian berjalan didepan dengan perasaan tegang memakai kemeja atau jas dan peci diapit oleh kerabatnya atau temannya.

Setelah sampai di muka pintu rumah calon pengantin wanita dilakukan ritual tepung tawar (surak bhs Geyongannya) berupa beras kuning dan uang kricik (coin recehan) maksudnya tanda wujud syukur ke Allah. SWT menjalankan Sunahnya untuk memasuki kehidupan baru dalam membina rumah tangga dan kehidupan yang bahagia dunia wal akherat (mawadha, warokhmah).

Persiapan yang dilakukan oleh pihak calon pengantin wanita lebih repot dan melelahkan, dari mulai persiapan calon pengantin, Pelaminan, prasmanan, hiburan, tarub dan macam-macam tetek benget banyak sekali penulis sampai lupa.

a. Persiapan Calon Pengantin.

Persiapan calon penganten wanita dilakukan jauh hari sebelumnya paling kurang seminggu pengantin wanita dipingit tidak boleh keluar rumah untuk ditimung (Sauna) dan dimandii kembang setaman (tujuh macam bunga dari bunga melati, mawar, kantil, kenanga dan bunga lainnya … ah penulis lupa), juga dilulur (diborehi) dengan kunyit biar kuning dan puasa tentunya. Tujuan kesemuanya itu untuk menambah daya tarik calon pengantin wanita agar lebih langsing , cantik, kuning , wangi dan mamanglingi dikala duduk di pelaminan nanti.

b. Ijab khabul Pernikahan

Setelah persiapan pernikahan selesai calon penganten pria dan wanita duduk berdampingan dihadapan penghulu untuk melaksanakan ijab kabul dengan disaksikan orang tua calon pengantin wanita dan para pemuka agama serta tokoh masyarakat juga kerabat dan teman-teman dekat.

Acara pertama pembukaan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran selanjutnya mengklarifikasi dokumen-dokumen surat nikah tentang ihwal penganten baik pria dan wanita, selanjutnya Naib menanyakan pada orang tua calon pengantin wanita apakah mau dilaksanakan sendiri atau diwalihkan ke penghulu/naib setelah sepakat maka proses ijab khabulpun dimulai. Naib biasanya akan memberi bimbingan terlebih dahulu kepada calon pengantin pria tentang proses ijab khabul agar dalam prakteknya bisa berjalan lancar. Ada cerita lucu yang pernah terjadi dimasyarakat, kata pak Naib “ setelah saya dudut/tarik jari telunjukmu maka kamu jawab “ kula terima “. Nah begitu proses ijab kabul berlangsung dan Naib menarik jari telunjuk calon pengantin , apa lacur jadinya ….. ternyata yang ia ucapkan “ dut kula terima “, maka geerrr lah orang sekelilingnya tertawa dan ijab khabulpun dinyatakan tidak sah dan harus diulang. Begitulah proses ijab khabul di desa Geyongan sangat simple tinggal mengucapkan kula terima maka sahlah ijab khabul atau resmi menjadi suami istri. Pada jaman dulu pernah terjadi prose ijab khabul gagal total karena pengantin pria tidak fasih mengucapkan “ dua kalimat sahadat “ , maka sebagai hukumannya calon pengantin pria digrujug (diguyur) air sumur sebanyak 7 ember.

Ada kepercayaan di masyarakat apabila ujung tumpeng walimahan itu retak maka dimaknai bahwa pengantin wanita sudah tidak perawan lagi atau diundu enom. Sudah menjadi kebiasaan setelah ijab khabul dilaksankan selamatan degan sajian tumpeng walimahan dan aneka masakan lainnya untuk dimakan bersama tanda bersyukur atas selesainya acara ijab khabul tersebut.

3. Ngupati Bajang Bayi

Mempunyai keturunan bagi sepasang penganten merupakan harapan dan kebahagian tersendiri terlebih baru membina magligai rumah tangga, untuk menunjukan syukur kepada Allah. SWT sang maha pencipta , maka diadakanlah acara Ngupati setelah kandungan berumur 4 bulan, dengan membuat ketupat dari beras dan dibagikan kepada kerabat dan tetangga. Ngupat diambil dari kata Papat (empat), di masyarakat geyongan mempercayai pada usia kandungan empat bulan jabang bayi yang ada didalam rahim ibu sudah disipat (dibentuk) organ tubuhnya dengan harapan kelak nanti bayi tersebut lahir mempuyai wujud sempurna.

4. Nujuh Bulan (Memitu)

Dalam proses editing .........

06 November 2008

ASAL USUL NAMA CIREBON

Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gede Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Padjadjaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gede Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gede Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.

Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh Raja Galuh dijawab dengan mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.

Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Rajanya bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai ke kawasan Asia Tenggara. (wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati).

Berdasarkan kitab Purwaka Caruban Nagari tadi nama ‘Cirebon’ berasal dari kata sarumban yang lalu diucapkan menjadi caruban. Kemudian caruban menjadi carbon, cerbon dan akhirnya Cirebon. Sarumban sendiri berarti ‘campuran’.

‘Campuran’ dapat dikaitkan dengan keadaan Cirebon yang dihuni oleh berbagai suku dan budaya. Purwaka Caruban Nagari juga menyebutkan bahwa penduduk setempat menyebut Cirebon sebagai ‘Negeri Gede’. Sampai kini orang-orang di Cirebon masih ada yang menyebut Cirebon dengan ‘Garage’. Ucapan ini berasal dari negeri gede.

Kata Cirebon sendiri dapat ditelusuri lewat bahasanya yaitu Ci dan Rebon. Ci dalam bahasa Sunda berarti air, sedangkan rebon dalam bahasa Jawa berarti udang kecil bahan pembuat terasi.

Hikayat mengatakan, konon beberapa orang Rajagaluh datang ke rumah pangeran Cakrabuana (penguasa Cirebon). Mereka diberi jamuan makan dengan lauk terasi, maka setelah kembali para tamu itu bercerita kepada keluarga dan saudara serta orang didaerahnya tentang kenikmatan makan dengan rebon. Maka rebon menjadi terkenal di Rajagaluh.

Rajagaluh pula yang kemudian memerintahkan pemerintahannya untuk membeli produksi rebon. Maka, atas dasar ini daerah penghasil terasi rebon dinamakan Cirebon. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1445 dan menjadi tahun berdirinya kota Cirebon sekarang.

Dari kisah diatas dapat diketahui bahwa nama ‘Cirebon’ diberikan oleh orang-orang Sunda, dalam hal ini ialah Rajagaluh. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata Ci yang dalam bahasa Sunda berarti air atau sungai yang umum dipakai sebagai awalan nama-nama tempat di Pasundan. Akan tetapi kata Rebon adalah dari bahasa Jawa. Tampak lagi adanya campuran dari penggunaan kata ‘sarumban’ antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa.

Nama Cirebon sejak awal abad ke-16 mulai dikenal di dunia internasional. Tome Pires, musafir Portugis yang datang ke Nusantara pada awal abad ke-16 mencatat bahwa Cerbon pada saat ia singgahi merupakan kota pelabuhan yang ramai . Nama Curban juga telah ada pada peta dunia yang ditulis oleh Diego Ribeiro pada tahun 1529.

Data Toponimi Cirebon

Berdasarkan toponimi (http://en.wikipedia.org/wiki/Toponymy), ilmu asal-usul tempat berdasarkan kebahasaan, di Cirebon nampak adanya suatu penamaan tempat-tempat geografis dengan peninggalan sejarah masa lalu. Hal ini karena sepanjang waktu di daerah kota selalu terjadi perkembangan dan perubahan, baik perubahan sosial maupun perubahan fisik.

Dari nama-nama tempat yang ada kita dapat mengetahui adanya beberapa kelompok pemukiman di Cirebon, yaitu kelompok-kelompok berdasarkan profesi seperti; Panjunan (tempat pembuat enjun), Pesuketan (tempat penjual rumput), Pagongan (tempat penjual gong), parujakan (tempat penjual rujak uuntuk tujuh bulanaan hamil wanita),Pengampon (tempat pembuat kapur dari kulit kerang), Pandesan (tempat membuat padesan untuk mengambil air wudhu), dan lain-lain.

Selain itu ada tempat yang dinamakan berdasarkan suku atau ras seperti; Pecinan (tempat orang-orang Cina, Kejawanan (dulu tempat berhentinya pasukan Mataram yang akan menyerang Cirebon).

Masih banyak lagi nama-nama tempat di Cirebon tidak termasuk dalam kelompok yang tidak disebutkan diatas. Hal ini karena tempat-tempat tersebut tidak mengacu pada suatu kelompok masyarakat khusus, tetapi mengacu pada hal lain seperti peristiwa, fungsi, flora, fauna dan lain-lain.

Contoh uraian ini menunjukkan pola penamaan suatu tempat yang diambil dari berbagai hal, yaitu;
A. Nama Flora
Mandu,dulunya banyak pohon mundu.
Gambira, kebonpring, dulunya banyak pohon bambu.

B. Nama peristwa
Pronggol, banyak pohon yang ditebangi oleh pasukan Mataram untuk markas.

Pagajahan, banyak terdapat gajah-gajah pemberian luar negeri ke Cirebon.
Peklutukan, terdapat mata air yang mendidih keluar dari tanah.

C. Fungsi tempat
Pabean, pelabuhan.
Pelandratan, tempat pengadilan di Cirebon.
Jagabayan, tempat penjaga keamanan.
Pekawatan, tempat persediaan kawat telpon.

D. Nama Jabatan
Kasepuhan, tempat Sultan Sepuh.
Kanoman, tempat Sultan Anom.

Dari data toponimi yang ada, Cirebon merupakan suatu kota yang sudah lama berkembang. Nama-nama diatas menunjukkan suatu masyarakat kota yang kompleks, dengan berbagai macam profesi, suku, status dan aktifitasnya.

Jumlah penduduk kota Cirebon merupakan tergolong cukup banyak. Berbeda dengan Banten Lama yang perkembangan kotanya beralih ke daerah sekarang yang sekitar 14 km dari Banten Lama. Di Cirebon perkembangan kota terjadi di lokasi semula dan meluas ke daerah sekitarnya. Hal ini pula yang menyebabkan suatu tempat tidak identik lagi dengan namanya. Kini data toponimi Cirebon umumnya berupa nama desa, nama jalan, juga nama pasar.

Daerah Cirebon merupakan puasat penyebaran agama Islam di Jawa. Selain Sunan Gunung Jati, banyak pula ulama dan pengajar-pengajar penyebar agama Islam. Data toponimi yang memperkuat bukti ini, dengan diketahui adanya tempat dengan nama Pekalipan yang berasal dari kata Khalifah.

Pengaruh bahasa menentukan sebagai indikator dalam data toponimi, dengan banyaknya daerah Cirebon yang memakai bahasa pada awalan pe- atau ke- pada kata dasar. Awalan tersebut adalah pengaruh dari bahasa Jawa. Jika pengaruh bahasa Sunda adalah pada pengunaan awalan pa- atau ka-. Masyarakat kota Cirebon umumnya memang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sedangkan bahasa lebih banyak dipakai oleh masyarakat yang tinggal di sebelah selatan kota.

Pengaruh bahasa pula yang menentukan ciri khas Cirebon. Sebuah kota dengan budaya multikultur. Dimana perbedaan, di kota ini, adalah perwujudan nyata dari rahmat illahi.

Terima kasih kepada sdr. Arif Kurniawan atas tulisannya sebagian kami sadur sebagai pelengkap isi blog ini.